SHI - Tempo dulu potensi hutan Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh melimpah ruah kini hanya tinggal sebuah kenangan nan indah untuk anak negeri, hasil hutan yang begitu sangat besar telah diekploitasi sejak zaman kolonial Hindia Belanda.

Kolonial Hindia Belanda pertama menginjakan kakinya di Bumi Atee Fulawan (Sebutan untuk Kabupaten Simeulue artinya Bumi Hati Emas-Red) pada tahun 1854 merupakan awal ekspedisi kolonial Hindia Belanda ke Kabupaten Simeulue, sejak itu Hindia Belanda menetapkan sebagai wilayah jajahannya dan hasil hutan terutama kayu rasak (semantok-Red) yang berkualitas nomor satu merupakan sasaran untuk dieskploitasi secara besar-besaran.

Awal dari eksplotasi hutan mulai pada tahun 1902, dalam tahun itu seorang yang bernama Scheuer mendapat izin untuk melakukan penebangan disekitar teluk Sinabang, pada tahun 1907 didirikan "Perusahaan eksplotasi Hutan Aceh (ABC), sebuah Perusahaan Penebangan Kayu Jawa menyerahkan lagi konsesi mereka pada 1931 yang dilakukan oleh seorang yang bernama Ho Sioe Sin, ditahun 1937 oleh Perusahaan Djin Hoat melanjutkan penebangan kayu sendiri untuk memproduksi balok rel, tidak cukup dengan kayu itu saja yang mereka tebang, tetapi kayu jenis lain pun tidak luput dari mesin gergaji Hindia Belanda.

Persoalan pembabatan kayu tidak cukup disini saja, ketika Republik Indonesia ini telah berdaulat dan dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa hasil bumi, darat dan laut diperuntukan untuk kesejahteraan rakyat hanya sebagai Slogan, bahkan ketika anak negeri ini telah mulai melek hukum pun penebangan kayu-kayu itu semakin merajalelah, kayu log yang berasal dari hutan Kabupaten Simeulue semakin liar dieksport ke luar pulau, kini hanya tinggal semak belukar, kalau pun masih ada tersisa tidak lebih dari pohon-pohon kayu kualitas rendah dan ukuran kecil.

Belum cukup dengan ekploitasi kayu Kabupaten Simeulue, belakangan mengalami kejayaan ketika Cengkeh si buah emas itu melimpah dengan dollar, itupun tidak bertahan lama, ketika rezim Bapak H.Soeharto berkuasa muncul peraturan yang kurang berpihak kepada petani cengkeh, sehingga nikmat tersebut segera lenyap dengan hadirnya BPPC yang mengatur tata niaga cengkeh akibatnya harga cengeh anjlok, lagi-lagi masyarakat Kabupaten Simeulue mengalami keruntuhan sumber ekonomi andalan, dampaknya adalah terjadi eksodus penduduk kedaratan sumatera hanya untuk mencari pekerjaan serabutan.

Sejak itu sumber pendapatan masyarakat Kabupaten Simeulue semakin tidak jelas, satu-satunya harapan adalah ternak kerbau itupun tidak lagi memiliki populasi yang cukup banyak sebagaimana laporan Van Hindia Belanda ketika mendarat dikepulauan Kabupaten Simeulue, ketika itu sang Jendral terkagum-kagum melihat ternak kerbau di Kabupaten Simeulue "Saya tidak pernah melihat populasi kerbau sebanyak ini dan tidak bisa dihitung banyaknya,"Begitu ungkapnya.

Kabupaten Simeulue sesungguhnya bukan saja memiliki keindahan tetapi menyimpan segudang potensi, kini sebahagian masyarakat masih memiliki secuil harapan hidup dari hasil kelapa untuk dijual kepabrik pengolahan tepung kelapa di Teupah Selatan, entah kapan pula sibulat (kelapa-Red) ini dapat bertahan dipasaran untuk menopang sebagian anak negeri ini.

Hasil bumi Kabupaten Simeulue yang pernah memberikan kontribusi paling utama terhadap perbangunan ekonomi dan tidak saja meningkatkan pendapatan masyarakat lokal tetapi telah menciptakan banyak lapangan kerja dari luar daerah sebagai pekerja pemetik cengkeh,dan yang perlu dicatat adalah tidak sedikit pemuda-pemudi Kabupaten Simeulue sukses meraih pendidikan tinggi diluar daerah karena ditunjang oleh keberhasilan pendapatan masyarakat dari hasil bumi, seperti cengkeh,kelapa,pinang, nilam,ikan dan hasil ternak.

Hampir semua sektor rel tumbuh sesuai kondisi saat itu, perdagangan antar pulau semakin lancar. Memang ketika itu perkembangan pembangunan sangat lamban, bahkan sangat jauh ketinggalan jika dibandingkan ketika Kabupaten Simeulue menjadi Otonom, fasilitas umum hampir tidak tersentuh dengan Dana APBN. Konon lagi yang namanya dana APBD karena ketika itu Kabupaten Simeulue masih tunduk ke Ibu Kandungnya Kabupaten Aceh Barat sebagai wilayah Kewedanaan. Namun aktivitas ekonomi masyarakat terus berjalan, seolah-olah rakyat Kabupaten Simeulue tidak peduli dengan tanggungjawab pemerintah terhadap pembangunan sarana prasarana ekonomi. Ketika itu jalan Sinabang – Lasikin hanya 11 Km "Babak Belur" Bahkan terkesan bagi masyarakat Kabupaten Simeulue ketika seperti tidak merasa telah merdeka.

Kabupaten Simeulue sebagai wilayah agraris sekaligus daerah maritim, fakta sejarah membuktikan bahwa keberhasilan masyarakat tempo dulu membangun dasar ekonomi yang berbasis sektor perkebunan, pertanian dan peternakan tidak datang atau tumbuh begitu saja, tetapi lahir dari sebuah tekat dan semangat yang kuat anak negeri ini, semua itu berjalan tanpa ada subsidi atau apapun bentuknya seperti sekarang, masyarakat tidak mengenal Koperasi apa lagi yang namanya Bank

Bila belajar dari fakta sejarah bahwa keberhasilan tesebut tidak lain adalah komitmen pimpinan Bano, Lanscap dan Son pada zaman Pemerintah kolonial dan gerakan itu dilanjutkan oleh pemerintahan pasca kemerdekanan dibawah Pemerintahan Pembantu Bupati Daerah Tingkat II Kabupaten Aceh Barat Wilayah Kabupaten Simeulue.

Agaknya gagasan untuk mewujudkan semua itu diperlukan sebuah managemen yang tegas dari pemerintah dengan mengabaikan gaya kepemimpinan "tabur pesona yang dikemas dengan orasi".

Vand Delan menguraikan dalam Laporan Hindia Belanda yang diterbitkan pada tahun 1938 bahwa masyarakat Kabupaten Kabupaten Simeulue ketika itu diwajibkan untuk melakukan kegiatan perkebunan, pertanian dan peternakan dengan memberikan kewajiban kepada setiap kepala keluarga untuk menanam 25 batang kelapa, 10 batang cengkeh dan masih diwajibkan lagi bersawah, memelihara ternak dan tanaman sela lainnya dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan rakyat. kemudian pada akhirnya oleh pimpinan bano menjadikan hukum adat/Qanun mukim/Gampong dengan mewajibkan kepada setiap pemuda yang mau menikah diharuskan menanam berupa cengkeh dan kelapa minimal 25 batang,

Sistim pemerintah jauh sebelum merdeka tersebut memang terkesan kerja paksa, melanggar hak azasi, tidak berprikemanusian tetapi itulah sebuah gagasan. Tujuan utama dari gagasan itu adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat juga untuk keperluan pajak pemerintahan kolonial ketika itu, namun kita ambil saja positifnya, bahwa usaha paksa tersebut pada gilirannya mendatangkan hasil dan buah hasil perjuangan keras pendahulu kita pada akhirnya dinikmati oleh generasi era kemerdekaan, oleh kita yang hidup abad ini dan generasi mendatang. "Sepintas terbayang oleh kita bahwa lebih baik dijajah kolonial dari pada dijajah bangsa sendiri"

Bagaimana generasi ke depan tentu merupakan kewajiban dan tanggung jawab generasi sekarang. Tentu tidak lagi harus dengan gaya kepemimpinan otoriter tetapi disesuaikan dengan kondisi dan kultur masyarakat, setidak tidaknya diperlukan komando yang jelas dan tepat dari sosok pimpinan ke depan, tidak arogan, sangat sangat persuasif tetapi tegas.

Kejayaan-kejayaan Kabupaten Simeulue tempo dulu agaknya hampir menjadi kenangan indah untuk hanya menjadi bunga tidur bagi generasi Muda Kabupaten Simeulue kini. Kayu semantuk, kerueng, umawak, cengkeh, kopra dan ternak yang dulu mampu mengangkat harkat generasi muda Kabupaten Simeulue ke Jenjang pendidikan tingggi hampir tinggal nama. Kayu semantok tinggak tunggul,  pokok kelapa telah mencapai 45 meter, pokok cengkeh yang bisa tempat istirahat ketika kecapayan memetik buah cengkeh sambil mendengar kaset dangdut, kini telah diselimuti semak belukar. Populasi ternak kerbau yang dulu berkembang melebihi populasi penduduk kini semakin berkurang, pokok kelapa dahulu 50 kali lipat jumlah penduduk kini jika dibagi rata perbatang tidak cukup untuk setiap kepala keluarga. Demikian juga lahan persawahan dan hasil produksinya hanya cukup untuk 5 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Simeulue.

Sejak 25 tahun terakhir ini tidak lagi ada peremajaan kelapa untuk mengganti tanaman yang telah berusia lanjut, bahkan lebih tua dari ayah atau nenek kita saat ini,tidak lagi ada kandang ternak untuk pembiakan dan padang gembala kerbau, padang rumput itu telah menjadi hutan, tidak ada lagi yang berminat menanam cengkeh atau sekedar melongo bekas kebun cengkeh yang pernah membuat kita terbang dengan pesawat sambil menenteng tas Echolac,dan tidak ada lagi yang berminat ke kebun dan ke sawah, hamparan sawah ladang itu telah ditumbuhi ilalang, batang "dulug dulug". Tanah yang subur itu sudah mulai ditawarkan untuk dijual dan dijual, itulah yang ada dibenak masyarakat kita hari ini, mungkin untuk selanjutnya.

Lebih banyak dan semakin banyak anak-anak muda Kabupaten Simeulue urban kekota untuk sekedar lari dari realitas kehidupan yang semakin menghimpit. Fenomena terkini yang bisa kita lihat adalah anak muda kita lebih gampang duduk di warung kopi, warnet atau sekedar ngobrol di balai-balai politik non kursi, dari pada membawa cangkul turun kesawah atau kekebun sambil bernandong ria. Atau kenapa kemudian para gadis-gadis putri Kabupaten Simeulue yang cantik dan pinter-pintar itu lebih mau bekerja di toko, supermarket dan selalu mengharap kerja dikantoran dari pada kesawah, kekebun atau menganyam pandan. Apakah benar sebagaimana penjajah katakan bahwa masyarakat Kabupaten Simeulue "malas dan tidak spritualis" (baca laporan Hindia Belanda 1856).

Ini barangkali beberapa persoalan yang ada di hadapan kita sebagai gambaran betapa Kabupaten Simeulue kini telah menjadi sangat jauh dari semangat kerja keras masa lalu. Tapi,untuk suatu kebangkitan, tentu kita tidak perlu mengulang dan memoles-moles masa lalu itu, melainkan yang terpenting adalah melakukan sebuah pembaruan pemikiran dan gerakan untuk sebuah lompatan yang jauh ke depan.

Menurut hemat saya, persoalan-persoalan ini, tidak sekali jadi. Dia terjadi secara sistematis dalam waktu yang panjang dan pada akhirnya hasil kerja keras itu pulalah yang akan diwarisi oleh generasi akan datang. Kita sepakat bahwa generasi akan datang tidak mewarisi sebidang tanah yang kering kerontang yang hanya ditumbuhi ilalang.

Ada 5 faktor yang bisa saya rangkum sebagai penyebab dari kebuntuan peran seperit Uris Bano era otonomi yaitu:

  1. Semangat kerja keras generasi muda sebagai budaya masyarakat agraris telah luntur.
  2. Tidak jelas arah kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan yang holistic, lokus dan focus.
  3. Semakin berwujudnya globalisasi informasi dan tehnologi yang menjadikan generasi muda gengsi dan terlena dengan kondisi kekinian.
  4. Sector pertanian belum dianggap sebagai sector yang menjanjikan masa depan masyarakat.
  5. Menunggu sosok pimpinan yang memiliki integritas membangun Kabupaten Simeulue.

Jika merunut sejarah perkembangan kepulauan ini dari dahulu dapatlah kita ambil sebuah pelajaran bahwa kebangkitan masyarakat Kabupaten Simeulue tidak terlepas dari sosok kepemimpinan yang memiliki komitmen untuk mensejahterakan rakyatnya, tentu harus didukung oleh kemauan keras masyarakat itu sendiri. Agaknya dua factor itu semakin memudar bahkan mungkin telah hilang ditelan zaman.

Hal lain perlu digaris bahwahi dari catatan Harian Belanda yang sangat menusuk hati adalah "Masyarakat Kabupaten Kabupaten Simeulue malas dan tidak menjalankan Agamanya" setiap yang merasa bertumpah darah Kabupaten Simeulue tidak perlu tersinggung, sakit hati bahkan emosi, karena penjajah telah pergi, namun kritik pedasnya dijadikan pemicu untuk lebih arif menyongsong kehidupan yang lebih sejahtera.Insya Allah.

Oleh: Drs.Arsin Rustam
Mantan: Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten 
Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh
Sumber Data: darmajatim.com




Post a Comment